Aku bergegas menuju sekolah dikarenakan
waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Sesampainya di sekolah
biasanya aku di sambut dengan kawan baikku. Dia bernama Zahra, Fatimah Az
Zahra. Nama yang cantik bukan. Mirip dengan nama putri baginda Rasulullah SAW.
Aku berteman dengannya sejak kami masih balita. Orang tua kami saling mengenal
satu sama lain. Aku selalu bersama-sama dengannya, layaknya kancing dan baju,
tangan dan kaki, air mata yang membasuh tangan. Begitulah kami, tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnnya.
Aku tiba di sekolah tepat lima menit
sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Terdengar suara seorang wanita memanggilku
dari arah belakang. Aku tahu dari mana asal suara itu, suara yang selalu ku
dengar sepanjang hariku. Itu adalah suara Zahra.
“Teteh...”.Begitu dia memanggilku.
Teteh adalah nama panggilan Zahra untukku.
“Zahra, bagaimana kabarmu hari ini?”
“Alhamdulillah, baik teh. Teteh
sendiri bagaimana?” timpalnya dengan penuh semangat. Ini adalah kebiasaan kami
berdua di kala kami bertemu. Menanyakan kabar satu sama lainnya.
“Sedikit ruwet Zahra. dikarenakan
pagi ini aku bangun kesiangan”.
“Begitu ya teh, ya sudah masuk kelas
yuk. Sebentar lagi kan jamnya pak Tomy. Kita tidak boleh terlambat”.
“Ayo Zahra”
Siang hari itu hujan turun sangat
deras. Aku dan Zahra menunggu bus di depan gerbang sekolah. Kami berencana
untuk membeli buku bersama di toko buku langganan kami.
“Teh, sepertinya hujan turun dengan
lebat. Apa kita akan tetap pergi ke toko buku?”
“Ia Zahra. Ada buku yang harus aku
beli. Buku itu sangat penting untuk tugas penelitianku”. Sebenarnya aku sedikit
tidak enak dengan Zahra. Aku menagajaknya membeli buku dalam kondisi hujan
lebat seperti ini. Aku bertanya padanya untuk memastikan persetujuannya.
“Apa kamu keberatan Zahra? Kalau
memang kamu keberatan dan tidak bersedia, kita tunda saja membeli bukunya. Aku
tidak akan merepotkan kamu”.
“Ah, teteh ini, biasa saja lagi. Aku
tidak keberatan sama sekali, malah keringanan”. Gurau zahra padaku dengan wajah
polosnya. Aku tak kuasa melihat wajahnya dan akupun tertawa karenanya.
“Kamu ini bisa saja bercandanya”.Bus yang kami
tunggu akhirnya datang. Kami segera naik ke dalam bus menuju toko buku.
Disaat malam tiba aku dan Zahra biasanya belajar
bersama-sama. Kali ini aku dan dia belajar bersama di rumahku. Tetapi, ada yang
berbeda dengan Zahra. Dia tampak tak seperti biasanya. Biasanya Zahra selalu
ceria dan bawel. Lain halnya dengan malam ini, dia lebih banyak diam dan raut
mukanya juga berbeda dari biasanya.
“Kamu kenapa Zahra?”. Tanyaku padanya
“Tak apa teh, hanya sedikit pusing. Mungkin
kecapean, nanti juga sembuh. Ayo lanjutkan lagi belajarnya”. Dia hanya menjawab
seperti itu. Tetapi aku yakin ada hal yang ia sembunyikan dariku. Aku telah
mengenalnya dengan baik. Lebih dari yang orang lain tahu.
“Apa mungkin kamu sakit akibat kehujanan saat
membeli buku tadi Zahra?”. Tanyaku penuh selidik.
“Aku tidak tahu. Tapi tak usah khawatir. Ini hanya
sakit biasa saja. Nanti aku akan meminum obat, pasti setelah itu aku sembuh.
Besok kan ada ulangan matematika, ada beberapa hal yang belum aku mengerti.
Jadi mari kita lanjutkan teh”. Kami belajar hingga pukul 8 malam. Setelah itu
Zahra pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumahku
Keesokannya aku tiba di kelas. Ternyata Zahra telah
sampai terlebih dahulu dariku. Kami memang duduk bersebelahan sejak kelas X
SMA. Aku menyapa Zahra yang sedang duduk di bangkunya seperti biasanya.
“Zahra bagaimana kabarmu hari ini?”
“Alhamdulillah baik, teteh”
“Sungguh?? Apa kamu tidak pusing lagi seperti
semalam??”
“Tidak teh. Teteh sendiri bagaimana??”
“Syukurlah jika kamu tak apa. Alhamdulillah kabarku
hari ini baik juga Zahra”
Di sela-sela ulangan matematika, tiba-tiba Zahra
pingsan. Aku terkejut dan sangat panik melihatnya. Aku khawatir dengan apa yang
sedang terjadi padanya.. Zahra di bawa ke UKS oleh pak Tomy, guru matematikaku.
Di UKS aku melihat Zahra sedang terbaring lemah di
kasur. Ada perasaan cemas di dalam hatiku. Aku takut sesuatu buruk telah
menimpa Zahra. Ku pandangi wajahnya dalam diam.
“Teteh,,,” suara Zahra membuyarkan lamunanku
“Hei, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaaanmu, apa
sudah baikan?”
“Sudah lumayan kok”
“Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Aku akan
membelikanmu makanan ya. Agar perutmu terisi dan kamu cepat sembuh”.
“Terimakasih teh, sudah memperhatikanku”.
“Sudah seharusnya Zahra.” Aku pergi meniggalkan
Zahra di ruang UKS menuju kantin sekolah.
Sepulang dari sekolah, aku menjenguk Zahra di
rumahnya. Seperti biasa tante Ratih, ibu dari Zahra yang menyambutku di depan
pintu rumah. Aku telah dekat dengan tante Ratih sehingga aku tak pernah sungkan
lagi dengannya.
Kulihat Zahra sedang menonton TV di depan ruang
keluarga miliknya.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Alhamdulillah, baik.”
Keesokan Harinya, saat aku dan Zahra sedang berada
di kantin sekolah. Ketika aku sedang asyik membahas hasil ulangan matematika
kami, tiba-tiba hidung Zahra meneteskan darah hingga membasahi bajunya. Aku
dibuat panik olehnya
“Zahra, apa yang terjadi dengan hidungmu?”
“ Ada apa teh?” Jawabnya sambil meraba lubang
hidungnya yang mengeluarkan darah.
“Mungkin ini hanya mimisan. Aku permisi ke toilet
dulu untuk membersihkan bercak darahnya”. Lanjutnya
“Kamu yakin?”
“Iya teh, sudah tak usah khawatir. Tak akan terjadi
apa-apa.”Ia langsung meniggalkanku sendiri di kantin.
Kejadian yang menimpa Zahra di kantin itu terus berulang di hari-hari berikutnya. Dia tak mengatakan
apapun padaku. Aku mulai cemas dengannya. Dia selalu berkata bahwa hal itu
hanya mimisan saja. Akan tetapi apakah mimisan bisa terjadi sesering yang di
alami Zahra?? Rasanya tak mungkin. Lama-kelamaan aku mulai merasa ada sesuatu
yang janggal dalam diri Zahra. Dia mulai tertutup padaku.
Suatu hari, seminggu setelah kejadian mimisan Zahra,
Zahra absen dari sekolah. Di dalam surat pemberitahuannya yang ia kirim ke
sekolah menyatakan jika ia sedang ijin ke luar kota dikarenakan kepentingan
keluarga.
Selepas pulang sekolah aku pergi kerumahnya dan
ternyata di rumahnya kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang pemilik rumah.
Aku berpikir, mungkin benar jika Zahra sedang pergi keluar kota. Tetapi mengapa
dia tak memberitahuku sebelumnya. hatiku terus bertanya-tanya tanpa ada yang
mampu menjawab pertanyaan itu.
Sekitar 2 minggu berlalu semenjak absennya Zahra
dari sekolah. Aku mulai gelisah, tak ada kabar dari Zahra maupun tante Ratih.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi kembali ke rumah Zahra.disana aku bertanya
dengan para tetangga untuk memastikan keberadaannya.
“Ibu, apa ibu mengetahui kemana penghuni rumah ini
pergi?” Tanyaku pada salah satu tetangga Zahra.
“Ibu kurang tau nak. Akan tetapi ibu mendengar bahwa
anak dari pemilik rumah ini sedangdi rawat di rumah sakit.” Mendengar jawaban
dari ibu tersebut aku langsung panik. Setauku anka tante Ratih hanya Zahra.
Berarti yang sedang di rawat di rumah sakit tak lain adalah Zahra.
“Emangnya anak dari ibu Ratih sedang sakit apa bu?”
Tanyaku penuh selidik. Aku ingin memastikan keadaann teman sekaligus sahabat
karibku, yaitu Zahra.
“Yang ibu dengar anak ibu ratih itu sedang menderita
Leukimia nak.”
Tubuhku lemas. Rasanya kakiku sudah tak mampu lagi
menopang tubuhku aku tak percaya dengan apa yang telah aku dengar dari ibu-ibu
tadi. Mana mungkin Zahra yang selama ini aku kenal, Zahra yang ceria dapat
terserang penyakit yang mematikan itu.
Untuk memastikan kebenaran berita tersebut, aku
bergegas menuju rumah sakit tempat Zahra dirawat seperti apa yang telah
disampaikan oleh tetangganya.
Sesampainya dirumah sakit. Aku langsung menuju ka ar
Zahra yang sebelumny telah aku tanyakan pada bagian recepsionis rumah sakit.
Dari luar kamar Zahra, aku melihat sosok malaikatku sedang terbaring lemah tak
berdaya. Sosok yang selama ini sangat aku sayangi. Ya benar itu Zahra, dia
sedang terbaring koma. Itulah penjelasan dari seorang suster yang ku temui saat
selesai memeriksa Zahra. Di sekeliling tubuhnya tertancap selang-selang yang
tak aku mengerti. Pasti Zahra merasa tak enak dan tersiksa dengan keberadaan
selang-selang itu. aku menangis dengan hebatnya. Aku marah pada diriku sendiri
yang tak tau akan kondisi sahabatnya sendiri. Apa pantas aku di anggap seorang
sahabat? Amarahku nergejolak di dalam lubuk hatiku.
“Zahra, mengapa denganmu? Mengapa kamu tak pernah
bercerita padaku tantang kondisimu? Mengapa kamu tega membiarkanku seperti
orang bodaoh yang tak tau apa-apa? Jawab Zahra” aku menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba suara tante Ratih terdengar olehku.
“Sayang, kamu tidak boleh berkata seperti itu. Zahra
sangat menyayangimu. Dia sudah menganggapmu selayaknya saudaranya sendiri.
Zahra tidak mau membuatnu khawatir dan bersedih dengan keadaannya.” Seru tante
Ratih
Aku menoleh ke arah tante Ratih. Melihat dari
garisan di kelopak matanya. Aku yakin tante ratihtidak tidur. Pasti tante Ratih
sibuk menjaga Zahra dirumah sakit. Aku sadar bahwa dalam kondisi seperti ini,
tante ratihlah yang lebih menderita dari pada aku. Dengan keadaanku sekarang
pastilah akan membuat tante Ratih semakin bersedih. Aku bertanya pada tante
Ratih mengenai kodisi terakhir Zahra. Dari beliau aku mengetahui bahwa penyakit
yang diderita Zahra telah sampai pada
stadium akhir. Selama ini mimisan yang di alami oleh Zahra disebabkan penyakit yang tengah dideritanya.
Aku mengutuk diriku sendiri yang selama ini kurang peka tehadap kondisi Zahra.
Aku memaksa tante Ratih pulang untuk beristirahat
dan membersihkan diri. Aku berkata padanya bahwa aku yang akan meneman Zahra
saat beliau sedang pulang kerumah. Aku berjalan kedalam ruangan Zahra. Aku
mendekati dan duduk didekatnya.
“Zahra, bagaimana kabarmu? Apa kamu tidak rindu
padaku? Apa kmu tak ingin bersekolah lagi? Aku rindu sekali padmu, sama
bercandamu, aku rindu dengan apa yang ada pada dirimu. Aku sedih melihatmu
seperti ini. mengapa kamu tak pernah berterus terang padaku tentang penyakit
yang tengah menyerangmu ini. Apa kamu tak mengasihaniku? Aku seperti orang
bodoh yang tak tau apa-apa mengenai kondisi sahabatnya sendiri” air mataku tak
mampu lagi terbendung, aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk tak menangis di
depan Zahra.
Mata itu perlahan terbuka, “Teteh...” satu kata itu
yang pertama kali terlontar dari bibirnya.
“Zahra, kamu sudah sadar? Aku panggilkan dokter
yaa,,,”
“Maaf” lanjut Zahra dengan suara masih terbata-bata
“Maaf untuk apa??” Tanyaku
“Maafkan aku karena telah membuatmu khawatir” Sahut
Zahra
“Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kamu sembuh
dulu”
Selang beberapa lama dokter datang untuk memeriksa
keadaannya. Dokter mengatakan bahwa kondisi Zahra semakin lemah sedangkan
penyakit yang tengah menggerogotinya semakin parah. Tante Ratih datang ke
ruangan Zahra setelah aku telpon sebelumnya. Tante Ratih menyuruhku untuk
pulang dan beristirahat karena dirinyalah yang akan menjaga Zahra. Aku dapat
menjenguknya besok sepulang dari sekolah.
Sekitar jam 10 malam kondisi Zahra semakin membyruk.
Dokter telah melakukan segala cara untuk menolongnya. Akan tetapi, ALLAH
berkehendak lain. Zahra tidak dapat tertolong. Aku mendengar kabar tersebut
dari tante Ratih lewat telpon. Aku sangat shok dan tak percaya. Aku menangis di
kamar, tak dapat ku tahan gejolak rasa sakit di dadaku. Sahabat yang telah lama
bersamaku kini telah pergi kembali ke pangkuan yang maha kuasa. Sahabat yang
selalu setia menemaniku. Sahabat yang selalu ceria dan karenanya aku dapat
tersenyum dan tertawa.sahabta yang sekaligus malaikatku kini telah pergi untuk
selama-lamanya.
Zahra dimakamkan keesokan paginya. Disana aku
melihat tante Ratih lebih tegar dariku. Beliau telah menerima takdirnya. Bahwa
ia telah kehilangan anak semata wayangnya. Lain tante Ratih, lain pula dengan
diriku. Aku masih belum bisa menerima kepergian Zahra. Air mataku menetes tanpa
henti sampai Zahra selesai dimakamkan.
Seusai pemakaman Zahra tante Ratih menghapiriku.
Beliau memberikan sesuatu untukku.
“Lia, ini untuk kamu” tante Ratih menyerahkan
secarik surat padaku.
“Ini apa Tante??”
“Sepertinya ini surat Zahra untukmu” Jawab tante
Ratih
“Terimakasih tante” tante Ratih pergi meninggalkanku
yang masih duduk di samping makam Zahra. Aku membuka surat itu perlahan dan ku
baca dengan penuh kehati-hatian.
Untuk Tetehku
Assalamu’alaikum....
Teteh, Bagaimana
Kabarmu?? Aku harap teteh baik-baik saja yaa,,,
Saat teteh membaca surat
ini pasti aku sudah tak ada di dunia ini. Aku akan berada bersama sang
penciptaku ditempat keabadian yang sesungguhnya. Sebelumnya aku meminta maaf
padamu karena aku tak pernah menceritakan penyakit yang ku derita. Aku tak
ingin membuatmu bersedih dan mengkhawatirkanku. Aku juga meminta maaf karena
untuk sekarang dan seterusnya aku tak dapat menemanimu lagi. Tapi yang harus
teteh tau, walaupun ragaku tak bersamamu lagi, jiwaku akan selalu menemanimu di
setiap langkahmu.
Teteh akan tetap menjadi
sahabat sekaligus saudara terbaikku. Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari
yang telah kita lewati bersama-sama. Dan akupun berharap teteh juga begitu.
Teteh... jangan sedih
yaa... insyaALLAH kita akan bertemu kembali di tempat yang lebih indah dan tak
ada yang akan bisa memisahkan kita. Jaga dirimu baik-baik. Do’aku akan selalu
menyertaimu.
Wassalamu’alaikum
Salam
penuh cinta
Zahra
Setelah membaca surat yang di tulis
Zahra. Aku merasa lebih tegar. Seperti yang di katakan Zahra dalam suratnya.
Walaupun Zahra telah pergi dari dunia ini. zahra akan tetap menjadi sahabat
terbaikku untuk selamanya. Aku yakin ALLAH SWT akan menempatkannya di tempat
yang baik dan indah. insyALLAH