Jumat, 15 Maret 2013

Surat Terakhir Zahra



            Aku bergegas menuju sekolah dikarenakan waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Sesampainya di sekolah biasanya aku di sambut dengan kawan baikku. Dia bernama Zahra, Fatimah Az Zahra. Nama yang cantik bukan. Mirip dengan nama putri baginda Rasulullah SAW. Aku berteman dengannya sejak kami masih balita. Orang tua kami saling mengenal satu sama lain. Aku selalu bersama-sama dengannya, layaknya kancing dan baju, tangan dan kaki, air mata yang membasuh tangan. Begitulah kami, tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnnya.
            Aku tiba di sekolah tepat lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Terdengar suara seorang wanita memanggilku dari arah belakang. Aku tahu dari mana asal suara itu, suara yang selalu ku dengar sepanjang hariku. Itu adalah suara Zahra.
            “Teteh...”.Begitu dia memanggilku. Teteh adalah nama panggilan Zahra untukku.
            “Zahra, bagaimana kabarmu hari ini?”
            “Alhamdulillah, baik teh. Teteh sendiri bagaimana?” timpalnya dengan penuh semangat. Ini adalah kebiasaan kami berdua di kala kami bertemu. Menanyakan kabar satu sama lainnya.
            “Sedikit ruwet Zahra. dikarenakan pagi ini aku  bangun kesiangan”.
            “Begitu ya teh, ya sudah masuk kelas yuk. Sebentar lagi kan jamnya pak Tomy. Kita tidak boleh terlambat”.
            “Ayo Zahra”
            Siang hari itu hujan turun sangat deras. Aku dan Zahra menunggu bus di depan gerbang sekolah. Kami berencana untuk membeli buku bersama di toko buku langganan kami.
            “Teh, sepertinya hujan turun dengan lebat. Apa kita akan tetap pergi ke toko buku?”
            “Ia Zahra. Ada buku yang harus aku beli. Buku itu sangat penting untuk tugas penelitianku”. Sebenarnya aku sedikit tidak enak dengan Zahra. Aku menagajaknya membeli buku dalam kondisi hujan lebat seperti ini. Aku bertanya padanya untuk memastikan persetujuannya.
            “Apa kamu keberatan Zahra? Kalau memang kamu keberatan dan tidak bersedia, kita tunda saja membeli bukunya. Aku tidak akan merepotkan kamu”.
            “Ah, teteh ini, biasa saja lagi. Aku tidak keberatan sama sekali, malah keringanan”. Gurau zahra padaku dengan wajah polosnya. Aku tak kuasa melihat wajahnya dan akupun tertawa karenanya.
“Kamu ini bisa saja bercandanya”.Bus yang kami tunggu akhirnya datang. Kami segera naik ke dalam bus menuju toko buku.
Disaat malam tiba aku dan Zahra biasanya belajar bersama-sama. Kali ini aku dan dia belajar bersama di rumahku. Tetapi, ada yang berbeda dengan Zahra. Dia tampak tak seperti biasanya. Biasanya Zahra selalu ceria dan bawel. Lain halnya dengan malam ini, dia lebih banyak diam dan raut mukanya juga berbeda dari biasanya.
“Kamu kenapa Zahra?”. Tanyaku padanya
“Tak apa teh, hanya sedikit pusing. Mungkin kecapean, nanti juga sembuh. Ayo lanjutkan lagi belajarnya”. Dia hanya menjawab seperti itu. Tetapi aku yakin ada hal yang ia sembunyikan dariku. Aku telah mengenalnya dengan baik. Lebih dari yang orang lain tahu.
“Apa mungkin kamu sakit akibat kehujanan saat membeli buku tadi Zahra?”. Tanyaku penuh selidik.
“Aku tidak tahu. Tapi tak usah khawatir. Ini hanya sakit biasa saja. Nanti aku akan meminum obat, pasti setelah itu aku sembuh. Besok kan ada ulangan matematika, ada beberapa hal yang belum aku mengerti. Jadi mari kita lanjutkan teh”. Kami belajar hingga pukul 8 malam. Setelah itu Zahra pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumahku
Keesokannya aku tiba di kelas. Ternyata Zahra telah sampai terlebih dahulu dariku. Kami memang duduk bersebelahan sejak kelas X SMA. Aku menyapa Zahra yang sedang duduk di bangkunya seperti biasanya.
“Zahra bagaimana kabarmu hari ini?”
“Alhamdulillah baik, teteh”
“Sungguh?? Apa kamu tidak pusing lagi seperti semalam??”
“Tidak teh. Teteh sendiri bagaimana??”
“Syukurlah jika kamu tak apa. Alhamdulillah kabarku hari ini baik juga Zahra”
Di sela-sela ulangan matematika, tiba-tiba Zahra pingsan. Aku terkejut dan sangat panik melihatnya. Aku khawatir dengan apa yang sedang terjadi padanya.. Zahra di bawa ke UKS oleh pak Tomy, guru matematikaku.
Di UKS aku melihat Zahra sedang terbaring lemah di kasur. Ada perasaan cemas di dalam hatiku. Aku takut sesuatu buruk telah menimpa Zahra. Ku pandangi wajahnya dalam diam.
“Teteh,,,” suara Zahra membuyarkan lamunanku
“Hei, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaaanmu, apa sudah baikan?”
“Sudah lumayan kok”
“Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Aku akan membelikanmu makanan ya. Agar perutmu terisi dan kamu cepat sembuh”.
“Terimakasih teh, sudah memperhatikanku”.
“Sudah seharusnya Zahra.” Aku pergi meniggalkan Zahra di ruang UKS menuju kantin sekolah.
Sepulang dari sekolah, aku menjenguk Zahra di rumahnya. Seperti biasa tante Ratih, ibu dari Zahra yang menyambutku di depan pintu rumah. Aku telah dekat dengan tante Ratih sehingga aku tak pernah sungkan lagi dengannya.
Kulihat Zahra sedang menonton TV di depan ruang keluarga miliknya.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Alhamdulillah, baik.”
Keesokan Harinya, saat aku dan Zahra sedang berada di kantin sekolah. Ketika aku sedang asyik membahas hasil ulangan matematika kami, tiba-tiba hidung Zahra meneteskan darah hingga membasahi bajunya. Aku dibuat panik olehnya
“Zahra, apa yang terjadi dengan hidungmu?”
“ Ada apa teh?” Jawabnya sambil meraba lubang hidungnya yang mengeluarkan darah.
“Mungkin ini hanya mimisan. Aku permisi ke toilet dulu untuk membersihkan bercak darahnya”. Lanjutnya
“Kamu yakin?”
“Iya teh, sudah tak usah khawatir. Tak akan terjadi apa-apa.”Ia langsung meniggalkanku sendiri di kantin.
Kejadian yang menimpa Zahra di kantin itu terus berulang di hari-hari berikutnya. Dia tak mengatakan apapun padaku. Aku mulai cemas dengannya. Dia selalu berkata bahwa hal itu hanya mimisan saja. Akan tetapi apakah mimisan bisa terjadi sesering yang di alami Zahra?? Rasanya tak mungkin. Lama-kelamaan aku mulai merasa ada sesuatu yang janggal dalam diri Zahra. Dia mulai tertutup padaku.
Suatu hari, seminggu setelah kejadian mimisan Zahra, Zahra absen dari sekolah. Di dalam surat pemberitahuannya yang ia kirim ke sekolah menyatakan jika ia sedang ijin ke luar kota dikarenakan kepentingan keluarga.
Selepas pulang sekolah aku pergi kerumahnya dan ternyata di rumahnya kosong. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang pemilik rumah. Aku berpikir, mungkin benar jika Zahra sedang pergi keluar kota. Tetapi mengapa dia tak memberitahuku sebelumnya. hatiku terus bertanya-tanya tanpa ada yang mampu menjawab pertanyaan itu.
Sekitar 2 minggu berlalu semenjak absennya Zahra dari sekolah. Aku mulai gelisah, tak ada kabar dari Zahra maupun tante Ratih. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi kembali ke rumah Zahra.disana aku bertanya dengan para tetangga untuk memastikan keberadaannya.
“Ibu, apa ibu mengetahui kemana penghuni rumah ini pergi?” Tanyaku pada salah satu tetangga Zahra.
“Ibu kurang tau nak. Akan tetapi ibu mendengar bahwa anak dari pemilik rumah ini sedangdi rawat di rumah sakit.” Mendengar jawaban dari ibu tersebut aku langsung panik. Setauku anka tante Ratih hanya Zahra. Berarti yang sedang di rawat di rumah sakit tak lain adalah Zahra.
“Emangnya anak dari ibu Ratih sedang sakit apa bu?” Tanyaku penuh selidik. Aku ingin memastikan keadaann teman sekaligus sahabat karibku, yaitu Zahra.
“Yang ibu dengar anak ibu ratih itu sedang menderita Leukimia nak.”
Tubuhku lemas. Rasanya kakiku sudah tak mampu lagi menopang tubuhku aku tak percaya dengan apa yang telah aku dengar dari ibu-ibu tadi. Mana mungkin Zahra yang selama ini aku kenal, Zahra yang ceria dapat terserang penyakit yang mematikan itu.
Untuk memastikan kebenaran berita tersebut, aku bergegas menuju rumah sakit tempat Zahra dirawat seperti apa yang telah disampaikan oleh tetangganya.
Sesampainya dirumah sakit. Aku langsung menuju ka ar Zahra yang sebelumny telah aku tanyakan pada bagian recepsionis rumah sakit. Dari luar kamar Zahra, aku melihat sosok malaikatku sedang terbaring lemah tak berdaya. Sosok yang selama ini sangat aku sayangi. Ya benar itu Zahra, dia sedang terbaring koma. Itulah penjelasan dari seorang suster yang ku temui saat selesai memeriksa Zahra. Di sekeliling tubuhnya tertancap selang-selang yang tak aku mengerti. Pasti Zahra merasa tak enak dan tersiksa dengan keberadaan selang-selang itu. aku menangis dengan hebatnya. Aku marah pada diriku sendiri yang tak tau akan kondisi sahabatnya sendiri. Apa pantas aku di anggap seorang sahabat? Amarahku nergejolak di dalam lubuk hatiku.
“Zahra, mengapa denganmu? Mengapa kamu tak pernah bercerita padaku tantang kondisimu? Mengapa kamu tega membiarkanku seperti orang bodaoh yang tak tau apa-apa? Jawab Zahra” aku menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba suara tante Ratih terdengar olehku.
“Sayang, kamu tidak boleh berkata seperti itu. Zahra sangat menyayangimu. Dia sudah menganggapmu selayaknya saudaranya sendiri. Zahra tidak mau membuatnu khawatir dan bersedih dengan keadaannya.” Seru tante Ratih
Aku menoleh ke arah tante Ratih. Melihat dari garisan di kelopak matanya. Aku yakin tante ratihtidak tidur. Pasti tante Ratih sibuk menjaga Zahra dirumah sakit. Aku sadar bahwa dalam kondisi seperti ini, tante ratihlah yang lebih menderita dari pada aku. Dengan keadaanku sekarang pastilah akan membuat tante Ratih semakin bersedih. Aku bertanya pada tante Ratih mengenai kodisi terakhir Zahra. Dari beliau aku mengetahui bahwa penyakit yang diderita  Zahra telah sampai pada stadium akhir. Selama ini mimisan yang di alami oleh Zahra  disebabkan penyakit yang tengah dideritanya. Aku mengutuk diriku sendiri yang selama ini kurang peka tehadap kondisi Zahra.
Aku memaksa tante Ratih pulang untuk beristirahat dan membersihkan diri. Aku berkata padanya bahwa aku yang akan meneman Zahra saat beliau sedang pulang kerumah. Aku berjalan kedalam ruangan Zahra. Aku mendekati dan duduk didekatnya.
“Zahra, bagaimana kabarmu? Apa kamu tidak rindu padaku? Apa kmu tak ingin bersekolah lagi? Aku rindu sekali padmu, sama bercandamu, aku rindu dengan apa yang ada pada dirimu. Aku sedih melihatmu seperti ini. mengapa kamu tak pernah berterus terang padaku tentang penyakit yang tengah menyerangmu ini. Apa kamu tak mengasihaniku? Aku seperti orang bodoh yang tak tau apa-apa mengenai kondisi sahabatnya sendiri” air mataku tak mampu lagi terbendung, aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk tak menangis di depan Zahra.
Mata itu perlahan terbuka, “Teteh...” satu kata itu yang pertama kali terlontar dari bibirnya.
“Zahra, kamu sudah sadar? Aku panggilkan dokter yaa,,,”
“Maaf” lanjut Zahra dengan suara masih terbata-bata
“Maaf untuk apa??” Tanyaku
“Maafkan aku karena telah membuatmu khawatir” Sahut Zahra
“Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kamu sembuh dulu”
Selang beberapa lama dokter datang untuk memeriksa keadaannya. Dokter mengatakan bahwa kondisi Zahra semakin lemah sedangkan penyakit yang tengah menggerogotinya semakin parah. Tante Ratih datang ke ruangan Zahra setelah aku telpon sebelumnya. Tante Ratih menyuruhku untuk pulang dan beristirahat karena dirinyalah yang akan menjaga Zahra. Aku dapat menjenguknya besok sepulang dari sekolah.
Sekitar jam 10 malam kondisi Zahra semakin membyruk. Dokter telah melakukan segala cara untuk menolongnya. Akan tetapi, ALLAH berkehendak lain. Zahra tidak dapat tertolong. Aku mendengar kabar tersebut dari tante Ratih lewat telpon. Aku sangat shok dan tak percaya. Aku menangis di kamar, tak dapat ku tahan gejolak rasa sakit di dadaku. Sahabat yang telah lama bersamaku kini telah pergi kembali ke pangkuan yang maha kuasa. Sahabat yang selalu setia menemaniku. Sahabat yang selalu ceria dan karenanya aku dapat tersenyum dan tertawa.sahabta yang sekaligus malaikatku kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Zahra dimakamkan keesokan paginya. Disana aku melihat tante Ratih lebih tegar dariku. Beliau telah menerima takdirnya. Bahwa ia telah kehilangan anak semata wayangnya. Lain tante Ratih, lain pula dengan diriku. Aku masih belum bisa menerima kepergian Zahra. Air mataku menetes tanpa henti sampai Zahra selesai dimakamkan.
Seusai pemakaman Zahra tante Ratih menghapiriku. Beliau memberikan sesuatu untukku.
“Lia, ini untuk kamu” tante Ratih menyerahkan secarik surat padaku.
“Ini apa Tante??”
“Sepertinya ini surat Zahra untukmu” Jawab tante Ratih
“Terimakasih tante” tante Ratih pergi meninggalkanku yang masih duduk di samping makam Zahra. Aku membuka surat itu perlahan dan ku baca dengan penuh kehati-hatian.

Untuk Tetehku

Assalamu’alaikum....

Teteh, Bagaimana Kabarmu?? Aku harap teteh baik-baik saja yaa,,,
Saat teteh membaca surat ini pasti aku sudah tak ada di dunia ini. Aku akan berada bersama sang penciptaku ditempat keabadian yang sesungguhnya. Sebelumnya aku meminta maaf padamu karena aku tak pernah menceritakan penyakit yang ku derita. Aku tak ingin membuatmu bersedih dan mengkhawatirkanku. Aku juga meminta maaf karena untuk sekarang dan seterusnya aku tak dapat menemanimu lagi. Tapi yang harus teteh tau, walaupun ragaku tak bersamamu lagi, jiwaku akan selalu menemanimu di setiap langkahmu.
Teteh akan tetap menjadi sahabat sekaligus saudara terbaikku. Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari yang telah kita lewati bersama-sama. Dan akupun berharap teteh juga begitu.
Teteh... jangan sedih yaa... insyaALLAH kita akan bertemu kembali di tempat yang lebih indah dan tak ada yang akan bisa memisahkan kita. Jaga dirimu baik-baik. Do’aku akan selalu menyertaimu.

Wassalamu’alaikum
Salam penuh cinta
Zahra

            Setelah membaca surat yang di tulis Zahra. Aku merasa lebih tegar. Seperti yang di katakan Zahra dalam suratnya. Walaupun Zahra telah pergi dari dunia ini. zahra akan tetap menjadi sahabat terbaikku untuk selamanya. Aku yakin ALLAH SWT akan menempatkannya di tempat yang baik dan indah. insyALLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
blogger template by arcane palette